Oleh: H. Puguh Pamungkas Sekretaris Fraksi PKS DPRD Provinsi Jawa Timur
Peringatan Hari Buruh Internasional (Labour Day) tak bisa dilepaskan dari peristiwa 1 Mei 1886 di Chicago, Amerika Serikat. Saat itu, para buruh menuntut pengurangan jam kerja dari 10–16 jam menjadi 8 jam per hari. Aksi demonstrasi besar-besaran pun terjadi dan berujung pada kerusuhan serta jatuhnya korban jiwa. Peristiwa yang dikenal sebagai Haymarket Affair ini menjadi tonggak penting dalam sejarah perjuangan buruh dunia.
Di Indonesia, Hari Buruh Internasional pertama kali diperingati pada 1 Mei 1918 oleh serikat buruh Kung Tang Hwee di Semarang. Kemudian, tanggal 1 Mei 1948 diresmikan sebagai Hari Buruh Nasional oleh Presiden Soekarno melalui Undang-Undang Kerja Nomor 12 Tahun 1948. Pasal 15 ayat 2 UU tersebut menyatakan bahwa buruh dibebaskan dari kewajiban bekerja pada tanggal tersebut, mengakui 1 Mei sebagai simbol kemenangan kaum pekerja.
Selama 79 tahun Indonesia merdeka, perjalanan buruh di negeri yang dikenal sebagai “gemah ripah loh jinawi” ini mengalami pasang surut. Terlebih pasca-reformasi 1998, ruang kebebasan berekspresi, termasuk hak-hak buruh, semakin terbuka. Pemerintah pun patut diapresiasi atas hadirnya berbagai regulasi yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan buruh.
Namun, perlu disadari bahwa kesejahteraan buruh tidak bisa dilepaskan dari pertumbuhan industri. Ketika iklim industri tumbuh positif, kebutuhan akan tenaga kerja meningkat, dan kesejahteraan pun ikut terangkat. Sebaliknya, jika industri lesu, buruhlah yang menjadi pihak paling terdampak.
Saat ini Indonesia menghadapi tantangan besar berupa ketimpangan antara jumlah angkatan kerja dengan ketersediaan lapangan kerja. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa satu dari empat penduduk Indonesia adalah pemuda. Kelompok usia produktif ini tentu memiliki kebutuhan besar terhadap akses pekerjaan.
Masih menurut BPS, pada 2023 terdapat 22,25% atau sekitar 9,89 juta penduduk muda berusia 15–24 tahun yang tergolong Not in Employment, Education or Training (NEET). Fenomena ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti ketidaksesuaian antara keterampilan yang dimiliki dengan kebutuhan industri (skill mismatch), serta minimnya lapangan kerja akibat stagnasi dunia industri yang dipicu ketidakpastian ekonomi global dan nasional.
Sepanjang 2024, tercatat 77.965 pekerja mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai sekitar 60.000 orang. Bahkan pada 2025, diprediksi gelombang PHK akan melanda sekitar 280 ribu pekerja dari 60 perusahaan di sektor tekstil.
Berbagai kajian menunjukkan bahwa gelombang PHK ini dipicu oleh beberapa hal, antara lain:
a) Kebijakan pemerintah yang lebih fokus pada investasi baru dan kurang memberikan insentif pada industri yang telah eksis;
b) Penurunan daya beli masyarakat;
c) Lambatnya investasi teknologi di sektor tekstil, garmen, elektronik, dan otomotif;
d) Kebijakan impor yang melemahkan daya saing produk dalam negeri;
e) Skema kredit industri yang belum cukup mendukung pelaku usaha.
Salah satu kebijakan yang turut memperburuk keadaan adalah terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024. Regulasi ini menghapus persyaratan persetujuan teknis untuk impor barang jadi, termasuk produk tekstil. Akibatnya, impor tekstil meningkat drastis dari 136.360 ton pada April 2024 menjadi 194.870 ton pada Mei 2024. Kenaikan ini memukul industri tekstil dalam negeri karena produk lokal sulit bersaing dari sisi harga. Tekanan biaya operasional yang tinggi dan rendahnya permintaan di pasar memaksa banyak perusahaan untuk melakukan PHK massal.
Gejolak ekonomi global dan ketidakpastian ekonomi nasional membuat dunia industri berada dalam posisi sulit. Dalam kondisi seperti ini, peringatan Hari Buruh seharusnya menjadi momen refleksi bagi seluruh elemen bangsa untuk memperkuat sektor industri dan melindungi buruh.
Pemerintah perlu segera melakukan intervensi melalui langkah-langkah deregulasi, seperti:
Revisi Permendag No. 8 Tahun 2024,
Relaksasi pajak usaha,
Penyederhanaan izin usaha,
Penundaan kenaikan premi BPJS,
Serta pemberian insentif nyata bagi industri strategis dalam negeri.
Pekerjaan bukan sekadar sumber penghidupan, tetapi juga penentu kesejahteraan masyarakat. Jika sektor industri diperkuat, maka lapangan kerja akan semakin luas dan kesejahteraan masyarakat akan meningkat secara menyeluruh.
Selamat Hari Buruh 1 Mei 2025.