Kasus dugaan kredit fiktif di Bank Jatim Cabang Jakarta yang menyebabkan kerugian negara sementara sebesar Rp569 miliar mendapat sorotan tajam dari Ketua Fraksi PKS DPRD Jawa Timur, Lilik Hendarwati.
Ia menilai kejadian ini sebagai peringatan keras bagi Direksi Bank Jatim agar lebih ketat dalam mengawasi sistem perbankan mereka.
“Ini benar-benar memalukan bagi Jawa Timur! Bank Jatim adalah bank milik daerah, yang seharusnya menjadi kebanggaan dan membawa manfaat bagi masyarakat. Tapi justru malah terlibat skandal sebesar ini,” tegas Lilik, Jumat (21/2/2025).
Kasus ini menyeret beberapa nama, di antaranya Kepala Bank Jatim Cabang Jakarta, Ronny, yang diduga memberikan fasilitas kredit piutang kepada tersangka Bun Sentoso dengan agunan fiktif. Selain itu, Kejaksaan juga menahan tiga tersangka lainnya, yakni Bun Sentoso (BN), Budi (B), dan Agus Dianto Mulia (ADM) dari PT Rekapratama dan PT Inti Daya Group.
Menurut Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung, Kuntadi Syarief, ketiga tersangka ditahan di lokasi berbeda. Tersangka B ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejagung, tersangka BN di Rutan Kejari Jakarta Selatan, dan tersangka ADM di Cipinang.
Syarief juga menyebut bahwa angka kerugian negara sebesar Rp569 miliar masih bersifat sementara dan berpotensi bertambah setelah perhitungan resmi dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Menanggapi kasus ini, Lilik menegaskan bahwa Direksi Bank Jatim harus bertanggung jawab. Ia meminta adanya evaluasi menyeluruh, serta peningkatan transparansi dan sistem pengawasan agar kejadian serupa tidak terulang.
“Skandal ini menunjukkan adanya kelemahan sistem pengawasan di tubuh Bank Jatim. Harus ada langkah konkret, termasuk audit menyeluruh dan penegakan hukum yang tegas terhadap semua pihak yang terlibat,” tambahnya.
Fraksi PKS DPRD Jawa Timur juga mendorong pemerintah provinsi, selaku pemilik saham mayoritas Bank Jatim, untuk segera mengambil langkah serius.
“Kami tidak ingin kepercayaan masyarakat terhadap Bank Jatim semakin runtuh. Direksi harus segera membuka data secara transparan, mengevaluasi sistem kredit, dan melakukan pembenahan internal,” tutup Lilik.
Kasus ini menambah daftar panjang skandal perbankan di Indonesia, sekaligus menjadi peringatan keras bagi lembaga keuangan daerah agar lebih berhati-hati dalam pengelolaan dana publik.{}