Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pelaksanaan pemilu nasional dan daerah yang tidak lagi digelar secara serentak mendapat tanggapan positif dari berbagai pihak, termasuk kalangan legislatif daerah. Wakil Ketua Komisi A DPRD Jawa Timur, Agus Cahyono, menilai kebijakan tersebut membuka peluang untuk melakukan rasionalisasi anggaran secara signifikan dalam penyelenggaraan pemilu mendatang.
Seperti diketahui, MK dalam putusan terbarunya menyatakan bahwa Pemilu Nasional (Presiden dan DPR RI) dapat dilaksanakan terpisah dari Pemilu Daerah (DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota dan Pilkada). Pemisahan ini menjadi angin segar dalam tata kelola pemilu, terutama menyangkut beban kerja penyelenggara dan efisiensi anggaran.
Menurut Agus Cah, pemisahan pemilu justru dapat menekan pembengkakan biaya, bukan menambahnya. Hal itu dilihat dari kemungkinan penyesuaian jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) karena beban pemilih dan jumlah surat suara akan berkurang.
“Dengan pemilu nasional dan daerah dipisah, surat suara di TPS hanya tiga jenis saja untuk nasional. Artinya, beban logistik lebih ringan dan satu TPS bisa menampung pemilih dua kali lipat dari sebelumnya. Ini jelas peluang penghematan,” ujar pria asal Trenggalek itu.
Agus Cah menjelaskan bahwa dalam pemilu sebelumnya, satu TPS menampung sekitar 300 pemilih dengan lima surat suara. Dengan pengurangan jenis surat suara di pemilu nasional, memungkinkan TPS ditingkatkan kapasitasnya menjadi 600 hingga 750 pemilih.
“Kalau satu TPS hanya menangani pemilu nasional dengan tiga surat suara, maka wajar kalau kapasitasnya bisa ditingkatkan. Tentunya perlu simulasi dan uji teknis, tapi logikanya sangat masuk akal,” tegasnya.
Dengan jumlah TPS yang lebih sedikit, maka biaya untuk Honor penyelenggara (KPPS, PPS), pendirian tenda TPS.
Ia menambahkan, efisiensi ini bisa digunakan untuk meningkatkan kualitas pemilu, seperti pelatihan petugas, penyempurnaan sistem rekapitulasi, hingga penyediaan logistik yang lebih ramah lingkungan dan aman.
Selain dari sisi teknis dan anggaran, Agus Cah melihat keputusan MK ini sebagai momen refleksi untuk memperbaiki proses demokrasi secara lebih mendasar. Menurutnya, penyatuan pemilu dalam satu waktu yang selama ini diterapkan menimbulkan beban yang sangat besar, baik bagi penyelenggara maupun pemilih.
“Beban lima surat suara dalam satu waktu itu berat. Banyak pemilih yang bingung, dan petugas pun kelelahan. Bahkan, kita pernah mendengar kabar petugas KPPS yang meninggal karena kelelahan saat pemilu serentak sebelumnya,” ucap legislator PKS itu.
Dengan pemisahan waktu pemilu, pemilih bisa lebih fokus memahami kandidat dan isu-isu yang relevan, sementara penyelenggara memiliki ruang yang cukup untuk mempersiapkan proses secara optimal.
Meski mendukung pemisahan, ia menekankan pentingnya simulasi teknis oleh KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu. Penyesuaian jumlah TPS, efisiensi waktu pemungutan dan penghitungan, hingga sosialisasi kepada masyarakat perlu dilakukan secara cermat.
“Kita ingin efisien, tapi tidak mengorbankan kualitas dan integritas. Maka simulasi penting, agar kita tahu apakah peningkatan jumlah pemilih per TPS bisa dilakukan tanpa melelahkan petugas atau mengganggu ketertiban,” katanya.
Agus pun mendorong agar pemerintah pusat, KPU, dan seluruh pemangku kepentingan pemilu menjadikan pemisahan ini sebagai peluang reformasi menyeluruh dalam sistem demokrasi Indonesia, bukan sekadar penjadwalan ulang.
“Pemisahan ini bukan hanya soal teknis atau anggaran, tapi juga soal kualitas demokrasi. Dengan pemilu yang lebih terfokus, rakyat bisa lebih terlibat dan suara mereka benar-benar dihargai,” pungkasnya.{}