BUMD Banyak yang Sakit, Lilik Dorong Regulasi Baru yang Pro Otonomi Daerah, Bukan Intervensi Pusat

Pemerintah tengah menyiapkan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang akan diajukan ke DPR RI. Langkah ini diambil menyusul data mengejutkan: dari 1.571 BUMD yang tersebar di seluruh Indonesia, sekitar 70 persen dalam kondisi tidak sehat, meski total asetnya mencapai lebih dari Rp1.200 triliun.

Persoalan utama dinilai berasal dari buruknya tata kelola, kuatnya intervensi politik, serta penempatan manajemen yang tidak kompeten. Situasi ini memantik perhatian berbagai pihak, termasuk DPRD di daerah.

Lilik Hendarwati, Anggota Komisi C DPRD Jawa Timur yang juga Ketua Fraksi PKS, menyambut positif inisiatif penyusunan RUU tersebut, namun dengan sejumlah catatan kritis.

“Saya menyambut baik rencana RUU BUMD sebagai upaya memperkuat keberadaan BUMD dalam menopang perekonomian nasional berbasis potensi lokal. Namun yang harus diwaspadai adalah potensi sentralisasi kewenangan dan intervensi pusat terhadap kebijakan ekonomi daerah,” tegas Lilik dalam keterangan tertulis, Sabtu (3/8).

Menurutnya, semangat utama dari regulasi ini harus berpihak pada otonomi daerah dan penguatan BUMD sebagai motor penggerak ekonomi lokal, bukan menyamaratakan kebijakan dari pusat yang justru bisa menghambat inovasi dan daya saing.

“BUMD tidak bisa disamaratakan. Tiap daerah punya kekhasan. Justru BUMD harus menjadi instrumen inovasi dan penguatan ekonomi berbasis lokalitas,” tambahnya.

Lilik juga mengingatkan pentingnya menjaga peran DPRD dalam proses pendirian dan pengawasan BUMD, agar tetap relevan dan sejalan dengan kebutuhan masyarakat di daerah.

“Fungsi pengawasan tidak boleh dikebiri. DPRD adalah representasi rakyat yang bertugas memastikan BUMD dijalankan dengan dasar bisnis yang sehat dan memberi kontribusi nyata terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD),” katanya.

Lilik mengusulkan agar RUU BUMD mengatur secara proporsional beberapa hal penting, antara lain, Pertama, keterlibatan aktif DPRD dalam pendirian, evaluasi, dan pengawasan BUMD.

Kedua, rekrutmen direksi dan komisaris yang dilakukan secara profesional dan transparan.

Ketiga, pemberian insentif bagi BUMD yang mampu berinovasi dan menjalin kolaborasi strategis.

Keempat, perlindungan aset dan sumber daya daerah dari potensi penguasaan oleh kepentingan luar daerah.

Menurut Lilik, keberadaan regulasi yang tepat akan mendorong BUMD benar-benar “naik kelas” tanpa kehilangan jati diri sebagai penggerak ekonomi daerah.

“Jangan sampai regulasi ini malah memperlemah BUMD dengan menyeragamkan visi pembangunan. Harus tetap berbasis otonomi yang sehat,” tegasnya.

Ia berharap pembahasan RUU ini melibatkan pemangku kepentingan di daerah, termasuk DPRD provinsi dan kabupaten/kota, agar substansinya tidak melenceng dari semangat reformasi dan otonomi daerah.

“Kalau ingin BUMD sehat dan kuat, kuncinya ada di tata kelola yang profesional, transparan, serta berpihak pada daerah, bukan pada kepentingan politik sesaat,” pungkasnya.{}

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top