Ketua Fraksi PKS DPRD Jawa Timur, Lilik Hendarwati, menanggapi terbitnya Surat Edaran (SE) Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa tentang penggunaan sound horeg. Aturan yang diterbitkan Rabu (6/8/2025) ini mengatur empat poin penting, mulai dari batas kebisingan hingga larangan penggunaan yang melanggar norma.
Dalam SE tersebut, tingkat kebisingan maksimal ditetapkan 120 desibel. Kendaraan pengangkut sound system wajib memenuhi uji kelayakan kendaraan (KIR), pengeras suara harus dimatikan saat melintasi tempat ibadah ketika peribadatan berlangsung, rumah sakit, saat ambulans melintas, serta ketika ada kegiatan pembelajaran di sekolah. Selain itu, penggunaan sound system dilarang untuk kegiatan yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, dan norma hukum.
Lilik menilai kebijakan ini lahir dari niat baik pemerintah untuk menciptakan ketertiban dan kenyamanan di masyarakat. Namun, menurutnya, penerapan di lapangan harus mempertimbangkan keseimbangan antara tujuan aturan dan dampaknya.
“Kita memahami bahwa suara yang terlalu keras bisa mengganggu kenyamanan warga, bahkan berdampak pada kesehatan pendengaran. Tetapi, sound horeg juga bagian dari ekspresi, hiburan, dan mata pencaharian sebagian warga,” ujarnya.
Lilik menegaskan, yang terpenting adalah penerapan aturan secara proporsional, tidak mematikan kreativitas dan mata pencaharian warga, tetap menghormati hak masyarakat untuk beraktivitas, serta memberikan sosialisasi yang jelas dan solusi transisi, seperti pembatasan jam, jarak, atau tingkat desibel yang terukur.
“Saya mendorong agar penerapan aturan ini disertai ruang dialog antara pemerintah, pelaku usaha, komunitas seni, dan masyarakat. Dengan begitu, kita bisa mencapai titik keseimbangan: ketertiban dan kenyamanan tetap terjaga, tanpa menghilangkan denyut kehidupan dan kreativitas warga Jawa Timur,” pungkasnya.{}